Advertisement
Pasal 5 UU Penanggulangan Bencana disebutkan pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Pada Sabtu (14/12/2021) sekitar pukul 15.20 WIB, Gunung Semeru memuntahkan semburan awan panas (erupsi). Semburan awan panas Semeru itu, membuat warga Dusun Curah Kobokan, Desa Sapiturang, Kecamatan Pronojiwo, Lumajang dan sekitarnya, panik dan berlarian menyelamatkan diri. Guguran abu vulkanik meninggi dan meluas ke berbagai penjuru Kabupaten Lumajang dan Probolinggo, Jawa Timur.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga Minggu (5/12/201) pukul 17.30 WIB, jumlah korban meninggal dunia akibat letusan Gunung Semeru sebanyak 14 orang. BNPB terus berkoordinasi dengan BPBD Kabupaten Lumajang terkait pemutakhiran data dampak erupsi Gunung Semeru itu.
Hal itu disampaikan Plt Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan (Pusdatinkom) BNPB Abdul Muhari dalam Konferensi Pers Perkembangan Hari Kedua Pasca Erupsi Gunung Semeru di Graha BNPB, Jakarta, Minggu (5/12/2021). "Korban meninggal dunia teridentifikasi di dua kecamatan yaitu 11 orang meninggal dunia di Kecamatan Pronojiwo. Sedangkan 3 orang meninggal dunia di Kecamatan Candipuro," ujar Abdul Muhari seperti dikutip laman BNPB, Minggu (5/12/2021).
Dia melaporkan perkembangan data penanganan korban luka berat sebanyak 35 orang meliputi: 8 orang di Rumah Sakit dr. Haryoto; 16 orang di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pasirian; 3 orang di Rumah Sakit Bhayangkara; 8 orang di Puskesmas Penanggal. Untuk korban luka lainnya sejumlah 21 orang, sehingga total keseluruhan korban luka sebanyak 56 orang.
Merespons bencana erupsi Gunung Semeru, Bupati Kabupaten Lumajang menetapkan status Tanggap Darurat Bencana Dampak Awan Panas dan Guguran Gunung Semeru selama 30 hari terhitung mulai 4 Desember 2021 sampai dengan 3 Januari 2022 berdasarkan Surat Keputusan Nomor 188.45/525/427.12/2021.
Bupati Kabupaten Lumajang juga menetapkan Komando Tanggap Darurat Bencana Awan Panas dan Guguran Gunung Semeru yang dipimpin oleh Komandan Distrik Militer 0821 Lumajang, bersama Komandan Batalyon Infanteri 527 sebagai Wakil Komandan I, Kepala Kepolisian Resor Lumajang sebagai Wakil Komandan II dan Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Lumajang sebagai sekretaris.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, mencatat data sementara sebanyak 2.970 rumah terdampak awan panas guguran Gunung Semeru. "Hingga hari ini pukul 17.00 WIB untuk kerusakan rumah tercatat sebanyak 2.970 rumah dan 13 fasilitas umum berupa jembatan, sarana pendidikan, dan tempat ibadah juga mengalami kerusakan," kata Kepala Bidang Kesiapsiagaan dan Logistik BPBD Lumajang Wawan Hadi Siswoyo di Lumajang, Minggu malam seperti dikutip Antara.
Menurutnya, 14 orang meninggal dunia dan 60-an mengalami luka-luka mendapat perawatan di beberapa puskesmas dan rumah sakit di Kabupaten Lumajang. Ia mengatakan dampak materiil akibat awan panas guguran Gunung Semeru yakni jembatan Gladak Perak jalur utama arah Lumajang - Malang lewat selatan terputus total sehingga warga di dua kecamatan yakni Kecamatan Pronojiwo dan Tempursari terisolasi, sehingga tidak ada akses jalan lagi menuju Kota Lumajang.
"Akses jalan menuju lokasi pengungsi masih tertutup hujan yang disertai abu vulkanik Gunung Semeru yang masih cukup tebal," kata dia.
BPBD Kabupaten Lumajang juga melaporkan sebanyak 5.205 jiwa terdampak kejadian sebaran awan panas guguran. Sampai saat ini BPBD setempat masih melakukan pendataan terkait jumlah korban terdampak dan perkembangan jumlah orang yang mengungsi menjadi 1.300 jiwa. Ribuan warga di Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo dan Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro itu mengungsi ke masjid, sekolah dan kantor desa, serta di titik-titik yang dianggap aman.
Lalu, sejauh mana tanggung jawab hukum (kewajiban) negara/pemerintah bila terjadi bencana alam seperti ini?
Hujan abu vulkanik masih terus mengguyur kawasan Dusun Sumbersari, Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, hingga Minggu (5/12/2021) siang. Dok./SINDOnews |
Pada Sabtu (14/12/2021) sekitar pukul 15.20 WIB, Gunung Semeru memuntahkan semburan awan panas (erupsi). Semburan awan panas Semeru itu, membuat warga Dusun Curah Kobokan, Desa Sapiturang, Kecamatan Pronojiwo, Lumajang dan sekitarnya, panik dan berlarian menyelamatkan diri. Guguran abu vulkanik meninggi dan meluas ke berbagai penjuru Kabupaten Lumajang dan Probolinggo, Jawa Timur.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga Minggu (5/12/201) pukul 17.30 WIB, jumlah korban meninggal dunia akibat letusan Gunung Semeru sebanyak 14 orang. BNPB terus berkoordinasi dengan BPBD Kabupaten Lumajang terkait pemutakhiran data dampak erupsi Gunung Semeru itu.
Hal itu disampaikan Plt Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan (Pusdatinkom) BNPB Abdul Muhari dalam Konferensi Pers Perkembangan Hari Kedua Pasca Erupsi Gunung Semeru di Graha BNPB, Jakarta, Minggu (5/12/2021). "Korban meninggal dunia teridentifikasi di dua kecamatan yaitu 11 orang meninggal dunia di Kecamatan Pronojiwo. Sedangkan 3 orang meninggal dunia di Kecamatan Candipuro," ujar Abdul Muhari seperti dikutip laman BNPB, Minggu (5/12/2021).
Dia melaporkan perkembangan data penanganan korban luka berat sebanyak 35 orang meliputi: 8 orang di Rumah Sakit dr. Haryoto; 16 orang di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pasirian; 3 orang di Rumah Sakit Bhayangkara; 8 orang di Puskesmas Penanggal. Untuk korban luka lainnya sejumlah 21 orang, sehingga total keseluruhan korban luka sebanyak 56 orang.
Merespons bencana erupsi Gunung Semeru, Bupati Kabupaten Lumajang menetapkan status Tanggap Darurat Bencana Dampak Awan Panas dan Guguran Gunung Semeru selama 30 hari terhitung mulai 4 Desember 2021 sampai dengan 3 Januari 2022 berdasarkan Surat Keputusan Nomor 188.45/525/427.12/2021.
Bupati Kabupaten Lumajang juga menetapkan Komando Tanggap Darurat Bencana Awan Panas dan Guguran Gunung Semeru yang dipimpin oleh Komandan Distrik Militer 0821 Lumajang, bersama Komandan Batalyon Infanteri 527 sebagai Wakil Komandan I, Kepala Kepolisian Resor Lumajang sebagai Wakil Komandan II dan Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Lumajang sebagai sekretaris.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, mencatat data sementara sebanyak 2.970 rumah terdampak awan panas guguran Gunung Semeru. "Hingga hari ini pukul 17.00 WIB untuk kerusakan rumah tercatat sebanyak 2.970 rumah dan 13 fasilitas umum berupa jembatan, sarana pendidikan, dan tempat ibadah juga mengalami kerusakan," kata Kepala Bidang Kesiapsiagaan dan Logistik BPBD Lumajang Wawan Hadi Siswoyo di Lumajang, Minggu malam seperti dikutip Antara.
Menurutnya, 14 orang meninggal dunia dan 60-an mengalami luka-luka mendapat perawatan di beberapa puskesmas dan rumah sakit di Kabupaten Lumajang. Ia mengatakan dampak materiil akibat awan panas guguran Gunung Semeru yakni jembatan Gladak Perak jalur utama arah Lumajang - Malang lewat selatan terputus total sehingga warga di dua kecamatan yakni Kecamatan Pronojiwo dan Tempursari terisolasi, sehingga tidak ada akses jalan lagi menuju Kota Lumajang.
"Akses jalan menuju lokasi pengungsi masih tertutup hujan yang disertai abu vulkanik Gunung Semeru yang masih cukup tebal," kata dia.
BPBD Kabupaten Lumajang juga melaporkan sebanyak 5.205 jiwa terdampak kejadian sebaran awan panas guguran. Sampai saat ini BPBD setempat masih melakukan pendataan terkait jumlah korban terdampak dan perkembangan jumlah orang yang mengungsi menjadi 1.300 jiwa. Ribuan warga di Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo dan Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro itu mengungsi ke masjid, sekolah dan kantor desa, serta di titik-titik yang dianggap aman.
Lalu, sejauh mana tanggung jawab hukum (kewajiban) negara/pemerintah bila terjadi bencana alam seperti ini?
Dilansir dari situs hukumonline.com, Dalam bagian Menimbang huruf a UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana disebutkan negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan termasuk perlindungan atas bencana.
Mengutip Pasal 1 angka 1-2 UU Penanggulangan, gunung meletus merupakan serangkaian peristiwa bencana disebabkan faktor alam yang mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Pasal 5 UU Penanggulangan Bencana disebutkan pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Tanggung jawab pemerintah/pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana diantaranya meliputi: pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan; perlindungan masyarakat dari dampak bencana; penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum; pemulihan kondisi dari dampak bencana; pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam APBN/APBD yang memadai; pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana siap pakai.
Dalam Klinik Hukumonine berjudul “Wajibkah Pemerintah Mengganti Rumah Warga yang Hancur Karena Bencana?” dijelaskan secara hukum, bencana alam adalah peristiwa yang tergolong force majeure atau suatu peristiwa yang berada di luar kuasa manusia. Force majeure ini biasanya merujuk pada gejala/tindakan alam (act of God), seperti banjir, gempa bumi, gunung meletus.
Karena itu, kerugian harta benda termasuk rumah dalam peristiwa bencana alam tidak dapat dimintakan ganti rugi kepada siapapun, termasuk pemerintah, kecuali apabila harta benda tersebut sebelumnya telah dilindungi oleh asuransi. Force majeure diatur dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata, dalam bagian mengenai ganti rugi karena force majeure sebagai alasan dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi.
Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab membangun kembali infrastruktur termasuk pemukiman penduduk yang terkena bencana sesuai dengan kemampuan keuangannya, sekurang-kurangnya sesuai dengan standar pemukiman yang layak. Pemerintah dan pemerintah daerah sebagai personifikasi dari negara memikul tanggung jawab tersebut, sesungguhnya tidak berdasarkan hubungan sebab akibat dari bencana alam, melainkan karena UUD 1945 menjamin hak setiap orang untuk bertempat tinggal.
Tanggung jawab pemerintah tersebut tidak berlaku bagi rumah-rumah atau pemukiman yang didirikan di wilayah yang oleh aturan hukum dinyatakan sebagai kawasan rawan bencana, seperti sempadan sungai, sempadan pantai, di bawah lintasan sambungan listrik tegangan tinggi (SUTET) dan sebagainya.
Memberi dana tunggu
Seiring dengan penanganan tanggap darurat bencana erupsi Gunung Semeru yang sedang berjalan, BNPB secara paralel juga akan mempersiapkan penanganan pasca bencana bagi warga yang terdampak. BNPB akan memberikan dana tunggu kepada warga yang rumahnya mengalami kerusakan sedang hingga berat akibat tertimbun abu vulkanik dari erupsi Gunung Semeru.
Hal tersebut disampaikan Kepala BNPB, Letjen TNI Suharyanto, dalam rapat koordinasi tanggap darurat bencana erupsi Gunung Semeru, Minggu (5/12/2021) di Kantor Kecamatan Pasirian. "Kami akan membangun kembali rumah warga yang rusak. Selagi menunggu dibangun, kami akan berikan dana tunggu kepada mereka yang terdampak untuk menyewa rumah sementara selama 6 bulan," ujar Suharyanto seperti dikutip laman BNPB.
Suharyanto berharap selama 6 bulan tersebut, rumah warga yang terdampak sudah dapat terbangun kembali di lokasi yang lebih aman. Saat ini, rencana pembangunan menunggu perizinan untuk penggunaan lahan dari pemerintah daerah. "BNPB bersama-sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Dinas PUPR akan terus mengawal proses perizinan tersebut," kata dia.
Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi BNPB, Jarwansah, mengatakan, setiap kepala keluarga yang rumahnya mengalami kerusakan dan tidak dapat ditinggali kembali, akan mendapatkan sebesar 500 ribu setiap bulannya selama kurun waktu 6 bulan. Hingga saat ini BNPB, BPBD, dan instansi terkait masih melakukan asesmen dan pendataan cepat kerusakan rumah yang timbul akibat kejadian bencana erupsi Gunung Semeru ini.
Mengutip Pasal 1 angka 1-2 UU Penanggulangan, gunung meletus merupakan serangkaian peristiwa bencana disebabkan faktor alam yang mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Pasal 5 UU Penanggulangan Bencana disebutkan pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Tanggung jawab pemerintah/pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana diantaranya meliputi: pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan; perlindungan masyarakat dari dampak bencana; penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum; pemulihan kondisi dari dampak bencana; pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam APBN/APBD yang memadai; pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana siap pakai.
Dalam Klinik Hukumonine berjudul “Wajibkah Pemerintah Mengganti Rumah Warga yang Hancur Karena Bencana?” dijelaskan secara hukum, bencana alam adalah peristiwa yang tergolong force majeure atau suatu peristiwa yang berada di luar kuasa manusia. Force majeure ini biasanya merujuk pada gejala/tindakan alam (act of God), seperti banjir, gempa bumi, gunung meletus.
Karena itu, kerugian harta benda termasuk rumah dalam peristiwa bencana alam tidak dapat dimintakan ganti rugi kepada siapapun, termasuk pemerintah, kecuali apabila harta benda tersebut sebelumnya telah dilindungi oleh asuransi. Force majeure diatur dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata, dalam bagian mengenai ganti rugi karena force majeure sebagai alasan dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi.
Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab membangun kembali infrastruktur termasuk pemukiman penduduk yang terkena bencana sesuai dengan kemampuan keuangannya, sekurang-kurangnya sesuai dengan standar pemukiman yang layak. Pemerintah dan pemerintah daerah sebagai personifikasi dari negara memikul tanggung jawab tersebut, sesungguhnya tidak berdasarkan hubungan sebab akibat dari bencana alam, melainkan karena UUD 1945 menjamin hak setiap orang untuk bertempat tinggal.
Tanggung jawab pemerintah tersebut tidak berlaku bagi rumah-rumah atau pemukiman yang didirikan di wilayah yang oleh aturan hukum dinyatakan sebagai kawasan rawan bencana, seperti sempadan sungai, sempadan pantai, di bawah lintasan sambungan listrik tegangan tinggi (SUTET) dan sebagainya.
Memberi dana tunggu
Seiring dengan penanganan tanggap darurat bencana erupsi Gunung Semeru yang sedang berjalan, BNPB secara paralel juga akan mempersiapkan penanganan pasca bencana bagi warga yang terdampak. BNPB akan memberikan dana tunggu kepada warga yang rumahnya mengalami kerusakan sedang hingga berat akibat tertimbun abu vulkanik dari erupsi Gunung Semeru.
Hal tersebut disampaikan Kepala BNPB, Letjen TNI Suharyanto, dalam rapat koordinasi tanggap darurat bencana erupsi Gunung Semeru, Minggu (5/12/2021) di Kantor Kecamatan Pasirian. "Kami akan membangun kembali rumah warga yang rusak. Selagi menunggu dibangun, kami akan berikan dana tunggu kepada mereka yang terdampak untuk menyewa rumah sementara selama 6 bulan," ujar Suharyanto seperti dikutip laman BNPB.
Suharyanto berharap selama 6 bulan tersebut, rumah warga yang terdampak sudah dapat terbangun kembali di lokasi yang lebih aman. Saat ini, rencana pembangunan menunggu perizinan untuk penggunaan lahan dari pemerintah daerah. "BNPB bersama-sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Dinas PUPR akan terus mengawal proses perizinan tersebut," kata dia.
Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi BNPB, Jarwansah, mengatakan, setiap kepala keluarga yang rumahnya mengalami kerusakan dan tidak dapat ditinggali kembali, akan mendapatkan sebesar 500 ribu setiap bulannya selama kurun waktu 6 bulan. Hingga saat ini BNPB, BPBD, dan instansi terkait masih melakukan asesmen dan pendataan cepat kerusakan rumah yang timbul akibat kejadian bencana erupsi Gunung Semeru ini.
Sumber : hukumonline.com