Advertisement
Oleh
ABDUL LATIF USMAN, S.H
(Pemred Journal GAMAS / LBH GAMAS)
Pemilu serentak 2024 masih jauh, tetapi elite politik lokal dan nasional mulai aktif mainkan peran di panggung publik. Seperti kita tahu di beberapa media lokal, elite politik kita sedang ngopi bareng disalah satu kafe di bilangan kota Kuningan, tentunya bukan ngopi biasa tetapi tentunya dilengkapi dengan menu-menu politik untuk suksesi Kuningan Satu (K1) di 2024 mendatang.
Kekecewaan dan luka lama di 2019 yang terasa berharap bisa terobati ketika bisa sukses dengan target menduduki kursi (K1) 2024 di Kabupaten Kuningan. Tentunya perlu perbaikan hubungan atau rekonsiliasi yang diharapkan bisa membawa angin segar bagi kepentingan pribadi dan partainya, yaitu merebut kursi Kuningan satu (K1). Kami memprediksi untuk konstelasi Kuningan Satu (K1) bakal ada dua pasangan kandidat yang bakal tampil untuk merebut Kursi (K1) di pendopo Kuningan. Tetapi bisa jadi tiga pasangan tergantung kemahiran lobi-lobi para elite politik Kuningan
Jika penulis amati bahwa gaya elite politik kita dalam memperebutkan kursi Kuningan Satu (K1) memakai gaya lagu malu-malu kucing dan malu-malu anjing. Apa bedanya malu-malu kucing dan malu-malu anjing? Beda malu-malu anjing dan malu-malu kucing adalah pada suara yang dikeluarkannya. Anjing yang diluar pagar menggonggong agar dibukakan pintu gerbang sedangkan anjing yang di dalam gerbang menggonggong terus seolah mengabarkan ada pencuri mau masuk. Sementara itu sepasang kucing yang selama ini sudah ada di dalam istana pura-pura tak butuh, cuek dan acuh pada pasangannya. Padahal matanya terus memantau ikan diatas meja.
Jabatan memang menggiurkan. Tak peduli apa pun latar belakangnya berharap bisa duduk di atas kursi Kuningan satu (K1). Bermacam karakter elite politik kita yang berambisi untuk berebut kekuasaan. Semua mempunyai hak politik yang sama untuk memilih dan dipilih sesuai dengan hak konstitusional sebagai mana dijamin dalam UUD 45. Tetapi tentunya ada sarat dan ketentuan yang harus dipenuhi. Termasuk yang tidak kalah pentingnya adalah pengakuan jujur pada hati nurani para elite politik bahwa saya layak atau tidak untuk mengemban amanat rakyat. Seperti kita pahami bahwa pribadi manusia sangat beragam, begitupun para elite politik kita sebagai manusia biasa, tentu karakternya juga beragam. Bisa jadi ada yang bermental pencuri, bermental perompak bersikap seperti kapal keruk dan tentunya ada juga politisi yang berhati nabi. Sudah tentu rakyat kita berharap politisi yang duduk di Kursi Kuningan Satu adalah elite politik yang berhati Nabi yang bisa membawa kemakmuran dan keadilan.
Mengapa para elite politik kita begitu bernafsu rebutan kursi kekuasaan? Bagaimana nasib demokrasi kita? Lalu bagaimana sebaiknya? Sepertinya sudah dianggap hal yang wajar dan biasa saja perihal rebutan kursi kekuasaan. Barangkali inilah karakter politik demokrasi kita, dimana tanpa malu-malu lagi keserakahan dipamerkan untuk bisa mendapatkan kursi. Sikap serakah terkesan dijadikan alasan untuk seseorang agar bisa sukses berkiprah di dunia politik. Karena jika keserakahan itu tidak dimiliki maka hal itu yang akan menjadikan mereka tersingkir dari arena politik demokrasi.
Fenomena diatas menunjukan bahwa kapitalisme dan materialisme telah sukses menanamkan nilai-nilai kerakusan dalam diri elite politik kita. Karena yang dinilai kesusksesan menurut mereka adalah manakala seseorang sudah mencapai prestasi besar, dengan mendapatkan uang berlimpah, jabatan dan nama besar. Elite politik kita telah terjebak dalam ilusi kebahagiaan. Mereka kira uang, jabatan dan nama besar serta kekuasaan dapat membahagiakannya. Mereka telah kehilangan empati setidaknya rasa malu itu telah sirna. Harusnya mereka malu pada para pendiri negara dan rakyat yang telah memberikan amanat dipundak mereka.
Akibat sifat rakus para elite politik kita yang selalu haus akan jabatan, rakyatpun dibuat bingung. Sering nampak di publik hal yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar. Kritik bertubi-tubi yang berbau fitnah pun tak segan-segan mereka semburkan kepada lawan yang dianggap menghambat ambisi pribadi mereka. Berbagai cara akan ditempuh, bahkan agamapun tak segan untuk dijadikan korbannya. Politik di negara ini bukan lagi dijadikan wahana untuk mengatur negara, tetapi malah menjadi ajang berebut kuasa. Beginilah realitas politik kita saat ini. Benar-benar sangat menghawatirkan, padahal etika politik semacam itu sangat berseberangan dengan apa yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa kita.
Semoga Allah menjaga negeri ini dari pemimpin yang dholim. Amiiiin.