Journal Gamas

Label


lisensi

Redaksi
Desember 06, 2021, 19.00 WIB
Last Updated 2021-12-06T12:00:26Z
HeadlineHukum

PERLINDUNGAN DEBITUR TERHADAP JAMINAN FIDUSIA KETIKA OBYEK JAMINAN DITARIK PAKSA OLEH KREDITUR

Advertisement
Oleh :
ABDUL LATIF USMAN, S.H


ABSTRAK


Menjamurnya perusahaan leasing di tanah air sangat membatu dalam permodalan di dunia usaha, terutama pengusaha kecil dan menengah. Adanya suntikan dana dari leasing membuat bisnis pengusaha kecil dan menengah tambah stabil. Meskipun hubungan hutang piutang antara leasing sebagai kreditur dan nasabah sebagai debitur sering timbul konflik seperti ketika debitur tidak bisa menempati janjinya untuk membayar angsuran bahkan sampai macet sehingga pihak leasing sering melakukan tarik paksa terhadap obyek jaminan fidusia dari tangan debitur.

Dari latar belakang di atas maka timbul masalah hukum di tengah masyarakat yaitu : bagaimana perlindungan hukum debitur (konsumen )terhadap jaminan fidusia ketika dinyatakan wanprestasi “ingkar janji “ oleh pihak Finance, kemudian pihak Finance menarik paksa obyek jaminan fidusia, resiko hukum apakah yang akan diterima ketika kreditur melakukan tarik paksa obyek jaminan fidusia dari tangan konsumen.

Dari hasil temuan di lapangan bahwa ketika debitur wanprestasi yaitu tidak mampu membayar angsuran berturut turut tiga bulan maka pihak leasing akan menarik Obyek Jaminan Fidusia melalui debt collector. Kemudian debt collector akan menarik paksa obyek jaminan fidusia tersebut dari tangan konsumen atau pihak ketiga. Tindakan leasing ini berdasarkan atas penegasan Alas hukum Pasal 29 UUJF No 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia.

Akan tetapi dengan munculnya Putusan MK No.18 /PUU-XVII /tahun 2019, maka tatanan perihal eksekusi jaminan fidusia menjadi berubah tidak secara serta merta pihak leasing bisa langsung melakukan eksekusi obyek jaminan fidusia dari tangan konsumen. Seperti yang ditegaskan Pasal 29 No 42 UU Jaminan Fidusia tahun 1999. Akan tetapi perlu memperhatikan Putusan MK No.18 tahun 2019 yang menafsirkan menyatakan bahwa pasal 15 ayat 2 dan 3 serta penjelasanya pasal 15 ayat 2 UU No.42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia berlaku secara inkonstitusional bersyarat (constitionally anconstitusional). Artinya ketentuan tersebut harus dianggap bertentangan dengan UUD 45 (Inskonstitusional) jika syarat yang ditetapkan MK tidak dipenuhi sesuai dengan amar keputusan.

Bahwa sepanjang frasa “ kekuatan eksekutorial" dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap adalah bertentangan dengan UUD1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi ) dan debitur keberatan menyerahkan secara suka rela obyek yang menjadi jaminan fidusia maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap “.

1. PENDAHULUAN

Dinamika pembangunan ekonomi Indonesia meminta perhatian serius, karena pembangunan ekonomi membutuhkan akan kredit dari pihak perbankan. Pemberian fasilitas kredit oleh bank kepada pelaku usaha (debitur) tentunya memerlukan jaminan, dimana barang jaminan itu diperlukan oleh pihak bank untuk memberi keyakinan bahwa debitur mampu melunasi hutangnya, dan pemberian kredit kepada debitur wajib dilakukan atas dasar asas pemberian kredit yang tidak merugikan bank. Hal tersebut wajib dilaksanakan mengingat kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko. Untuk itu diperlukan jaminan yang menyangkut harta benda milik nasabah (debitur) atau juga milik pihak ke tiga yang merupakan jaminan tambahan untuk mengamankan pelunasan kredit.

Dengan adanya jaminan dalam pemberian fasilitas kredit, membuat aman kepada lembaga keuangan yang memberikan fasilitas kredit kepada pihak nasabah. Artinya piutang yang dipinjamkan akan terjamin pelunasannya dengan adanya jaminan. Disinilah letak pentingnya lembaga jaminan.

Dalam penjelasan pasal 8 UU No.10 tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No 7 tahun 1992 tentang perbankan menjelaskan bahwa :

1. Kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko. 

2. Untuk mengurangi resiko tersebut, bank harus mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan dari debitur untuk melunasi utangnya.

3. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan/jaminan dan prospek usaha.

Dari beberapa bentuk lembaga jaminan salah satunya adalah lembaga jaminan Fidusia. Lahirnya lembaga Fidusia yang lahir berdasarkan Undang –Undang no 42 tahun 1999 tentang jaminan Fidusia adalah karena ketentuan undang-undang yang mengatur tentang lembaga pand (gadai) mengandung banyak kekurangan, yaitu tidak bisa memenuhi kebutuhan masyarakat dan tidak dapat mengikuti perkembangan masyarakat. Salah satu kekurangan lembaga gadai adalah barang yang di jadikan jaminan harus di serahkan kepada pihak kreditur/pemegang hak gadai.

Lahirnya Undang–Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dalam hal hutang piutang melalui jaminan fidusia. Kaitannya dalam barang yang menjadi jaminan untuk pelunasan hutang debitur kepada kreditur dimana kreditur mempunyai hak yang diutamakan. Hal tersebut dapat dilihat pada pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang menyatakan bahwa : “ Sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya “. Kaitannya dalam hal debitur dinyatakan ingkar janji maka kreditur diberikan hak eksekusi terhadap obyek jaminan fidusia seperti ditegaskan dalan Pasal 29 ayat 1 dan 2 .UU No 42 tahun 1999

Regulasi pemerintah jaman reformasi pada saat melahirkan undang-undang nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia tentunya bertujuan agar para pihak yang terlibat dalam perjanjian kredit tentunya ingin melindungi kreditur sebagai pemodal dan debitur sebagai pelaku usaha. Sehingga pada akhirnya debitur akan merasa terbantu dalam mengembangkan usahanya. Majunya kegiatan bisnis yang dijalankan oleh debitur maka berharap ekonomi nasional akan meningkat.

Penulis melihat, mengamati mengkaji dan mempelajari praktek keseharian bagaimana kegiatan di dalam dunia leasing. Khusunya ketika leasing melakukan penanganan dalam penyelesaian masalah kredit macet. Bahwa adanya permasalahan hukum yang sering muncul ketika debitur wanprestasi sampai dengan proses eksekusi inilah yang mendorong penulis untuk membahas dan mencari jawaban penyelesaian secara hukum .

Masalah masalah hukum yang sering muncul itu diantaranya adanya tindakan orang leasing yang arogan , debt collector diminta untuk membayar sejumlah uang karena keterlambatan angsuran, hal inilah yang membuat nasabah protes keras kepada pihak kantor leasing. Contoh lainnya adalah ketika debt collector ingin menarik unit kendaraan jaminan Fidusia karena nasabah sudah terlambat tiga bulan. Ketika nasabah bertahan untuk tidak ditariknya unit kendaraanya maka debt collector meminta sejumlah uang yang dalam bahasa debt collector uang batal tarik sebesar minimum satu angsuran. Bahkan ketika terjadi tarik paksa unit kendaraan yang menimbulkan keributan, inilah bentuk arogansi pihak leasing kepada nasabah. Kondisi nasabah yang sangat lemah inilah yang patut dilindungi hak haknya secara hukum.

Citra buruk leasing ditengah masyarakat ini dibiarkan liar tanpa ada perhatian dari pihak terkait dan tentunya juga dunia akademisi yang wajib tanggap fenomena yang ada di tengah masyarakat yang tergambar jelas bahwa leasing sangat arogan terhadap nasabah ketika angsurannya menunggak.

Pelaksanaan eksekusi obyek jaminan fidusia sering dilanggar oleh pihak leasing ditambah dengan ketidaktahuan para nasabah (debitur) terhadap perlindungan hukum ketika debitur dinyatakan wanprestasi sampai tindakan kreditur melakukan tarik paksa obyek jaminan fidusia. Sering juga kreditur melakukan upaya rekayasa dalam pelelangan sehingga obyek jaminan fidusia terjual dengan harga murah dan tidak jarang terjadi proses pelelangan tidak berjalan fair dan transparan, sehingga merugikan debitur selaku pemberi fidusia.

Suatu contoh kasus lain adalah bahwa ketika debitur terlambat membayar pada bulan pertama dan kedua biasanya masih di tangani oleh pihak leasing melalui collector. Tetapi ketika masuk pada bulan ketiga dan seterusnya debitur belum juga membayar maka pihak leasing akan mengoper pekerjaan tagihan itu kepada debt colektor sebagai eksekutornya.

Sementara antara leasing dengan ekternal debt collektor merupakan satu team dalam pelaksanaan eksekusi (tarik paksa) unit kendaraanJaminan Fidusia dari tangan debitur. Setelah debt collektor itu berhasil menarik unit kendaraan jaminan fidusia dari tangan debitur maka unit kendaraan akan diantar ke gudang Perusaan Dana Talang,dan saat itulah ekternal (debt collektor) akan mendapatkan uang kontan pembayaaran jasa penarikan unit kendaraan dari perusahan dana talangan.

Permainan selanjutnya antara perusahaan dana talangan dengan pihak lising adalah pihak dana talangan membayar sejumlah uang kepada pihak lising.Pada dasarnya uang yang dibayarkan kepada ekternal dan kepada pihak lising merupakan uang debitur. Dimana sejumlah uang itu akan mempengaruhi harga lelang nanti, sehingga harga lelangnya akan rendah.

Disinilah poin pertama kerugian materi yang diderita oleh debitur.poin yang kedua adalah dikarenakan harga lelang tidak maksimal sehingga tidak bisa melunasi hutang debitur kepada pihak leasing (kreditur) maka dampaknya adalah debitur akan mendapatkan catatan jelek terhadap (BI) Bank Indonesia atau dalam istilah dunia leasing nasabah kena BI ceking.

Poin ketiga kerugian debitur adalah ketika unit kendaraan jaminan Fidusia yang ditarik oleh debt collektor tidak sampai ke tangan perusahaan dana talangan apalagi sampai ke tangan pihak leasing,akan tetapi malah dijual dengan kondisi unit kendaraan tanpa BPKB atau dalam istilah dunia debt collector “ Jual Unit Sebelahan “ artinya hanya ada STNK tanpa ada BPKB.


2. PEMBAHASAN

a. Pengertian Fidusia dan Jaminan Fidusia

Di dalam pasal 1 ayat (1) UUJF No 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia kita jumpai pengertian fidusia.Fidusia adalah “ Pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang kepemilikan yang dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda itu “ bahwa yang dimaksudkan dengan pengalihan hak kepemilikan adalah pemindahan hak kepemilikan dari pemberi fidusia kepada penerima fidusia atas dasar kepercayaan dengan syarat bahwa benda yang menjadi obyek tetap berada di tangan pemberi fidusia. Disamping istilah fidusia, kita kenal juga istilah jaminan fidusia. Istilah jaminan fidusia ini dikenal dalam pasal 1 angka (2) UUJF no 42 tahun 1999. Dimana jaminan fidusia adalah : “ hak jaminan atas suatu benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam UU No.4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan uang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.

Jaminan fidusia merupakan jaminan kebendaan yang dapat dijadikan agunan bagi peluasan hutang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima jaminan fidusia.

Melihat di dalam Pasal 5 Undang – undang no 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris serta dengan bahasa Indonesia dan merupakan akta jaminan fidusia. Benda yang dibebani jaminan fidusia wajib didaftarkan pada kantor Pendaftaran fidusia.

Didalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 mengatakan akta tersebut tersebut dibuat dengan akta notaris. Akta fidusia yang dibuat melalui akta notaris disini merupakan sarat tertulis untuk berlakunya ketentuan-ketentuan Undang-undang jaminan Fidusia atas perjanjian penjaminan fidusia yang ditutup para pihak,karena dalam Undang-undang No 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia (UUF) yaitu akta jaminan fidusia harus dibuat dengan “akta notaris “ dan dalam bahasa Indonesia surat harus didaftarkan di “ Kantor Pendaftara Fidusia “. Jadi dapat dikatakan bahwa akta fidusia harus dibuat dengan akta notaris, karena dengan dibuatnya akta notaris dan dengan akta notaris maka akan memberikan kepastian hukum kepada para pihak kerena kekuatan hukum sertifikat tersebut sama dengan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Kreditur akan memperoleh sertifikat Jaminan Fidusia berirah–irah “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ”. Dengan demikian, memiliki kekuatan hak eksekutorial langsung apabila debitur melakukan pelanggaran perjanjian fidusia kepada kreditur (parate eksekusi), sesuai Undang-undang nomor 42 tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Tentunya tetap memperhatikan Putusan MK No 18 tahun 2019 yang yang menjadi dasar hukum ketika kreditur melakukan tindakan eksekusi obyek jaminan fidusia.

b. Prosedur Eksekusi Obyek Jaminan Fidusia Ketika Debitur Dinyatakan Cidera janji.


Sistem keuangan di dalam dunia bisnis selalu mengalami pasang surut, penyebabnya banyak faktor bisa terjadi karena kemampuan manajemen internal perusahaan atau malahan dari pihak mitra bisnis yang kurang sehat terhadap pemenuhan kewajiban dalam hubungan bisnis.

Seperti banyak terjadi di bisnis keuangan baik dunia perbankan maupun perusahaan keuangan bukan bank seperti leasing /pembiayaan, dalam dunia leasing contohnya ketika memberikan pinjaman kepada nasabah (debitur) tentunya berharap debitur bisa melakukan pembayaran /angsuran dengan lancar. Tetapi praktek di lapangan banyak sekali kasus kredit bermasalah bahkan sampai masuk katagori kredit macet.

Sebenarnya dari awal ketika kreditur /leasing memberikan fasilitas kredit kepada nasabah (debitur ) dilengkapi dengan barang jaminan sebagai keamanan keuangan kreditur yang dipinjamkan kepada debitur dengan demikian ketika debitur ingkar janji (wanprestasi terhadap kewajibannya maka kreditur bisa melakukan eksekusi terhadap obyek barang yang menjadi jaminan pelunasan hutangnya.

Berpedoman pada pasal 1238 KUHPerdata bahwa debitur bisa dikatakan lalai manakala debitur tidak melaksanakan kewajibannya (membayar angsuran ) sesuai waktu dan tanggal yang telah disepakati. Kaitannya dengan undang undang Jaminan Fidusia yang digunakan sebagai alas hukum dunia leasing menegaskan dalam pasal 15 ayat (3) “Apabila debitur cidera janji penerima fidusia (kreditur ) mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi obyek jaminan fidusia atas kekuasaan sendiri ( parate eksekusi ) .

Akan tetapi dalam perjalananya pelaksanaan Jaminan Fidusia Tahun 1999 selalu dinamis, seperti munculnya Putusan MK Nomor 18 /PUU-XVII /2019 yang isi keputusannya secara garis besar bahwa kreditur tidak dibenarkan untuk melakukan eksekusi obyek jaminan fidusia ketika debitur tidak secara suka rela untuk menyerahkan obyek jaminan fidusia itu kepada kreditur tetapi harus ada kata sepakat perihal frase ingkar janji kepada para pihak lebih dahulu.

c. Pelaksanaan eksekusi obyek jaminan fidusia setelah Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019.

Sebagai bentuk perlindungan negara kepada rakyatnya khususnya perihal perlindungan debitur ketika terjadi wanprestasi dalam kewajiban sebagai debitur kepada kreditur maka negara telah tegas melalui Keputusan sidang Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 .

Munculnya Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019. Membuat pelaksanaan eksekusi obyek jaminan fidusia tidak lagi seperti yang ditegaskan pada Pasal 29 ayat (1) UUJF no.42 tahun 1999.

Alas hukumnya adalah Putusan MK No 18 /PUU XVII/2019 menafsirkan bahwa pada Pasal 15 ayat (2) dua UUJF tahun 1999 ditafsirkan bahwa sepanjang frasa “ kekuatan eksekutorial “ dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap “ adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi ) dan debitur keberatan menyerahkan secara suka rela obyek yang menjadi jaminan fidusia maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap"

Artinya ketika debitur tidak dengan suka rela menyerahkan obyek jaminan fidusia kepada kreditur yang dikuasakan melalui debt collector maka debitur berhak untuk mempertahankan obyek jaminan tersebut dan kreditur ( debt collector ) tidak dibenarkan untuk memaksa untuk menariknya barang jaminan fidusia itu dari tangan akan tetapi harus menghormati hak hukum yang dimiliki oleh seorang debitur yaitu kreditur perlu menggunakan upaya hukum gugatan perdata dahulu di pengadilan.sebelum melakukan eksekusi.

Pasal 15 ayat (3) UUJF menegasakan bahwa “ apabila debitur cidera janji,penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi obyek jaminan fidusia atas kekuasaan sendiri.”

Putusan MK 18 / 2019 ,pasal 15 ayat (3) UUJF menafsirkan bahwa sepanjang frasa “cidera janji” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur,melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atas dasar atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadi cidera janji".

Berkaitan dengan frasa “ cidera janji “ yang dilakukan oleh debitur tentunya perlu disepakati dahulu antara kreditur dan debitur diawal penandatangan kontrak, sehingga ketika debitur tidak melaksanakan prestasi dengan apa yang dituangkan dalam surat perjanjian maka kreditur bisa menarik obyek jaminan fidusia dengan alas hukum yang kuat, tetapi jika hal itu tidak disepakati diawal ketika surat perjanjian ditanda tangani maka kreditur wajib mematuhi rambu rambu hukum dalam eksekusi yaitu dengan mengajukan gugatan perdata kepada pengadilan negeri.

Selain Putusan MK Nomor 18/2019 yang dengan tegas bahwa kreditur tidak bisa melakukan eksekusi dan tarik paksa obyek jaminan fidusia ketika debitur tidak menyerahkan secara suka rela tetapi perlu mentaati rambu hukum melalui gugatan perdata di pengadilan.

Putusan MK No 18 tahun 2019 tersebut diatas memperkuat bahwa ketika debitur wanprestasi maka kreditur tidak serta merta bisa menarik dan mengeksekusi obyek jaminan fidusia ketika debitur tidak dengan suka rela menyerahkan obyek jaminan fidusia tersebut kepada kreditur tetapi perlu melalui prosedur gugatan melalui pengadilan.

1. Akibat Hukum Kreditur Apabila Melakukan Tarik Paksa Obyek Jaminan Fidusia

Ditengah masyarakat sering kita jumpai kasus penarikan paksa obyek jaminan fidusia seperti mobil atau motor. Kejadian ini diawali ketika debitur (konsumen ) tidak bisa membayar angsuran sampai menunggak lebih dari tiga bulan. Eksekusinya dilakukan oleh para mata elang atau debt collector. Biasanya pihak kantor leasing sebelum memberikan surat penarikan obyek jaminan fidusia kepada debt collector, pihak kantor akan memberikan surat teguran dahulu kepada konsumen berupa surat somasi, yaitu diawali pemberian somasi pertama, kedua sampai ke tiga. Ketika konsumen tidak merespon dan tidak ada niat baik untuk menyelesaikan masalah dengan pihak leasing maka langkah selanjutnya pihak kantor leasing akan membuat surat Kuasa Penarikan Obyek jaminan Fidusia. Dengan bekal Surat Kuasa penarikan obyek jaminan fidusi tadi maka debt collector akan mendatangi rumah konsumen atau mencari tahu keberadaan obyek jaminan itu berada. Tindakan selanjutnya debt collector akan menarik unit kendaraan tadi dengan baik baik, tetapi apabila pihak konsumen bertahan tidak mau menyerahkan obyek jaminan fidusia tadi maka si debt collector akan menggunakan power dengan kasar untuk menarik paksa kendaraan obyek jaminan fidusia.

Hubungan hukum antara kreditur dan debitur adalah hubungan hutang piutang dengan jaminan motor atau mobil secara fidusia, leasing berharap agar konsumen bisa membayar dengan lancar sampai lunas, tetapi kenyataanya tidak semua konsumen bisa membayar sampai dengan lunas, tetapi banyak faktor karena sebab yang lain. Kepada konsumen yang menunggak lebih dari tiga bulan inilah biasanya leasing akan menarik obyek jaminan fidusia melalui debt collector. Tindakan penarikan obyek jaminan fidusia diasumsikan oleh pihak leasing bahwa perjanjian yang ditanda tangani bersama antara leasing dengan konsumen telah batal,sebagai penyebabnya adalah karena konsumen ingkar janji, dengan demikian leasing berasumsi bisa menarik obyek jaminan fidusia dari tangan konsumen melalui debt collector.Kalaupun leasing tetap memaksa melakukan penyitaan maka tindakan tersebut adalah sebuah pelanggaran hukum

Karena tindakan menyita paksa barang oleh kreditur dan debt collector adalah pelanggaran hukum maka tindakan itu dapat berindikasi tindakan pidana pencurian atau perampasan (pasal 362 dan 368 KUHPidana )”mengambil barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain secara melawan hukum “, debitur berhak melaporkannya kepada polisi.

Berdasarkan pada Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 mewajibkan kepada kreditur pelaksanaan eksekusi obyek jaminan fidusia tidak lagi secara langsung melakukan eksekusi kepada obyek jaminan fidusia ketika debitur wanprestasi tetapi perlu menempuh gugatan kepada pengadilan sehingga mendapatkan putusan yang mempunyai kekuatan yang mengikat .

Putusan MK No 18 /PUU XVII/2019 menafsirkan bahwa pada Pasal 15 ayat (2) dua UUJF tahun 1999 ditafsirkan bahwa sepanjang frasa “ kekuatan eksekutorial “ dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap “ adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi ) dan debitur keberatan menyerahkan secara suka rela obyek yang menjadi jaminan fidusia maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap “

Selanjutnya, langkah penyelesaian terhadap permasalahan tersebut dapat ditempuh diantaranya :

1. Mengupayakan mediasi sebagai upaya alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan melalui badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK).

2. Melaporkan tindak pidana perampasan kendaraan ke pihak kepolisian.

3. Mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum ke Pengadilan Negeri terkait penarikan sepada motor secara paksa.

3. PENUTUP


Lahirnya Putusan MK No. 18 / 2019 yang memberi penafsiran baru terhadap beberapa frasa dan penjelasannya dalam UU Fidusia tentu sedikit banyak memberikan implikasi terhadap proses eksekusi obyek jaminan fidusia .Sehingga dapat dikatakan bahwa putusan MK No 18 tahun 2019 membuat keadilan yang seimbang antara kreditur dengan debitur.Peluang tindakan curang yang sering dilakukan oleh pihak kreditur bersama ekternal debt collector bisa ditekan ketika nasabah memahami perihal perlindungan hukun dari Undang –undang No 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia yang bersinergi dengan Putusan MK No 18 tahun 2019.Moga pihak pihak terkait bisa bertindak arif dan bijaksana secara hukum.


Daftar Pustaka :

- UUD 1945
- Undang Undang No 42 tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.
- KUHPerdata
- KUHPidana
- Putusan MK No 18 /PUU / XVII / 2019.